Minggu, 02 Agustus 2015

Program Benteng Tahun 1950-1954


Pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Indonesia mengirim delegasinya yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Dalam Konferensi itu disepakati beberapa agreement, salah satunya adalah pembentukan Negara Indonesia sebagai suatu serikat. Dalam konferensi tersebut juga disepakati bahwa Soekarno diangkat menjadi presiden RIS dan Mohammad Hatta menjadi wakil presiden sekaligus merangkap sebagai Perdana Menteri RIS.[1]
Bagi negara yang sepenuhnya baru lepas dari bayang-bayang kolonialisme, dibutuhkan suatu gagasan yang baru dari para perumus kebijakan untuk membangun perekonomian Indonesia. Di lain pihak, para pembuat kebijakan ekonomi juga dihadapkan pada tugas yang berat, dimana masalah-masalah sosial-ekonomi yang timbul saling mempengaruhi. Seperti kebutuhan akan perbaikan sistem dan fasilitas ekonomi yang rusak akibat dari kolonialisme Jepang dan Revolusi Fisik, dengan permintaan yang kuat untuk mengubah ekonomi ala kolonial menjadi ekonomi nasional. Selain itu juga terdapat masalah sistem nilai tukar ganda yang menyebabkan inflasi berkepanjangan[2] dan permasalahan akan pengembangan kewirausahaan pribumi Indonesia yang kuat.
Kemerdekaan Indonesia tidak akan utuh jika tidak didukung dalam bidang perekonomian. Oleh karena itu perubahan sistem ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional menjadi agenda utama dari pemerintah Indonesia. Hingga tahun 1950, Indonesia masih merasakan dominasi kuat ekonomi kolonial yang kapitalis[3], masyarakat Indonesia hanya menjadi bagian terkecil (bahkan terkesan pasif) dalam sistem ekonomi kolonial tersebut.
Berdasarkan perjanjian di bidang ekonomi yang dituangkan dalam bentuk Finec ( Financial-Economic Agreement ) dalam sidang KMB di Den Haag, pemerintah Belanda mendapat jaminan dan konsesi akan kepentingan ekonominya di Indonesia.[4] Sebagian besar sektor ekonomi Belanda memiliki 25 persen total dari GDP Indonesia dan 10 persen total dari lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia.[5] Sebagai langkah awal untuk mendukung terbentuknya perekonomian Nasional, para perumus kebijaksanaan Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengambil alih sektor-sektor strategis di bawah kontrol langsung pemerintah. Diantaranya adalah nasionalisasi De Javasche Bank[6], melikuidasi perusahaan penerbangan Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij, KNILM)[7], mengambil alih sektor-sektor penting seperti jalur-jalur kereta api di Jawa dan fasilitas umum seperti perusahaan gas dan listrik. Meskipun sebagian perusahaan utama milik Belanda telah dinasionalisasi, akan tetapi yang lainnya masih beroperasi hingga tahun 1957.[8]
Sebagai negara yang telah lama menjadi suatu sistem perdagangan dunia, masa kolonialisme Jepang hingga Revolusi Fisik merupakan fase hilangnya kesempatan untuk mengembangkan dan memperkuat kelas menengah di negeri ini. Indonesia membutuhkan kelas pengusaha untuk memulai roda perekonomian. Untuk memunculkan kembali bibit-bibit entrepreneur tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang pada akhirnya diarahkan untuk memperkuat kelas menengah Indonesia.[9]
Pada tahun 1950, atas prakarsa dari Menteri Kesejahteraan Djuanda dan Sumitro Djojohadikusumo mulailah diperkenalkan “Program Benteng”.[10] Target dari program ini jelas, untuk mengembangkan kewirausahaan pribumi Indonesia, melindungi para importir nasional agar dapat bersaing dengan importir asing, dan nantinya diharapkan dapat menggantikan posisi dominan perusahaan dagang Belanda “The Big Five”, yang terdiri dari Borsumij, Jacobson van den Berg, George Wehry, Internatio dan Lindeteves serta perusahaan Inggris seperti MacLaine Watson.[11]
Program Benteng sendiri lebih difokuskan pada bidang perdagangan impor. Pertama, hal ini dikarenakan jumlah modal dan sumber-sumber daya perusahaan yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan bidang lain, seperti perusahaan manufaktur. Kedua, banyak perusahaan-perusahaan Belanda yang masih beroperasi memanfaatkan sektor impor ini. Ketiga, arti penting impor bagi perekonomian Indonesia, karena sudah sejak masa kolonial, perusahaan manufaktur bergantung pada sektor impor. Dan Keempat, pemerintah memiliki kekuasaan yang lebih besar atas kegiatan impor dibanding pihak manapun.[12] Oleh karena itu, pemerintah berharap lewat perdagangan impor inilah pengusaha-pengusaha lokal atau pribumi dapat memutar kembali modalnya dan dapat digunakan untuk mengembangkan sektor-sektor usaha yang lebih besar.[13] Pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk kredit lunak kepada para pengusaha dan juga lisensi-lisensi impor dengan beberapa syarat. Akan tetapi, karena sebagian besar aktivitas ekonomi Indonesia pada masa kolonial masih pada taraf industri rumahan, pemerintah Indonesia juga mengambil tindakan untuk mendorong dan mengembangkan usaha koperasi. Pertumbuhan koperasi merata di seluruh Nusantara, dari mulai tingkat propinsi hingga ke tingkat desa (KUD).[14] Sistem koperasi ini dianggap pemerintah sebagai usaha paling efisien, selain membeli barang dari hasil karya anggota-anggotanya, Koperasi Unit desa juga membantu pemerintah memberikan pinjaman berupa kredit lunak untuk merangsang industri-industri berskala kecil di daerah.
Dikeluarkannya kebijakan Benteng selain untuk menghentikan dominasi ekonomi Belanda, pada akhirnya juga merambah pada pembatasan dominasi pengusaha Tionghoa di Indonesia. Bahkan jauh sebelum dikeluarkannya kebijakan Benteng, pada tanggal 27 Oktober 1949 telah diadakan pertemuan pejabat sipil Indonesia bidang perdagangan yang membahas tentang peniadaan modal Cina sebesar mungkin, tanpa melihat mereka sebagai warga negara Indonesia atau asing.[15] Dilihat dari sejarahnya, pengusaha Tionghoa memang mendapatkan prioritas utama dalam ekonomi kolonial.[16] Mereka menguasai hampir semua sektor ekonomi modern, seperti perkebunan, pertambangan, perusahaan manufaktur skala besar, sistem perbankan, fasilitas publik, dan perdagangan antara di kota maupun pedesaan.[17] Diskriminasi terhadap pengusaha Tionghoa dalam program Benteng ini membuat Siauw Giok Tjhan yang menjadi anggota parlemen sekaligus perwakilan etnis Tionghoa memprotes kepada DPR, menurutnya program Benteng ini terlalu rasialis dan mendiskriminasi peran orang Tionghoa dalam ekonomi nasional.[18]
Dalam prakteknya pemerintah tidak dapat melepaskan pengaruh kuat dominasi pengusaha Tionghoa, karena mereka menguasai perdagangan ekspor-impor. Selain itu mereka juga memiliki jaringan yang kuat dan efektif, jaringan ini sudah sangat lama terbentuk dan memiliki hubungan dengan jaringan internasional.[19] Meskipun pribumi pada masa ini diuntungkan dan mendapat prioritas dari perdagangan impor tetapi hanya beberapa pengusaha pribumi saja yang dapat mengembangkan perusahaannya. Hal ini disebabkan Indonesia yang didiami berbagai etnik, membuat jaringan pribuminya hanya terbatas pada lokasi tertentu dan tidak dapat terhubung satu dengan yang yang lainnya.
Selain itu, Kebijakan Benteng juga melahirkan para importir-importir gadungan. Para pengusaha pribumi (si Ali) yang tidak memiliki modal dan tempat usaha, dengan membawa “aktentas” keluar masuk kantor Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk mendapatkan lisensi impor. Setelah mereka mendapatkan lisensi tersebut, mereka mendatangi pengusaha Tionghoa (si Baba) untuk menjual lisensi tersebut.[20] Kerjasama inilah yang kemudian terkenal dengan istilah sistem Ali-Baba. Keinginan pemerintah untuk menyingkirkan peran orang Tionghoa lewat program Benteng bukan hanya merupakan tugas yang sulit, tetapi juga sangat tidak efektif. Hal ini dikarenakan ativitas ekonomi Tionghoa yang sudah berlangsung lama, secara tidak langsung telah terjalin hubungan yang lebih dekat dengan pribumi Indonesia.





[1] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2008. (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 487.

[2] J.A.C. Mackie, “Periode 1941-1965 sebagai Selingan dalam Pembentukan Ekonomi Nasional: Bagaimana Sebaiknya Kita Menafsirkan?”, dalam J. Th. Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002), hlm. 401.

[3] Taufik Abdullah, “Indonesianisasi: Sebuah Wacana dan Serentetan Peristiwa”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 5.

[4]  M.C. RIcklef, op.cit., hlm. 497.

[5] Thee Kian Wie, “Kebijaksanaan Ekonomi di Indonesia selama Periode 1950-1965, Khususnya dalam Investasi Modal Asing”, dalam J. Th. Linblad (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002), hlm. 377.

[6] De Javasche Bank berganti nama menjadi Bank Indonesia dan menjadikannya sebagai Bank Sirkulasi Indonesia. Lihat J. Th. Linblad, “From Java Bank to Bank Indonesia: A Case Study of Indonesianisasi in Practice”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 21.

[7] Koninklijk Nederlands-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) berganti nama menjadi Maskapai Penerbangan Garuda (GIA) dan menjadi perusahaan penerbangan domestik.

[8] Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara. (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 25.

[9] W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Kelas. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 96.

[10] Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik. (Jakarta: ELKASA, tt), hlm. 677.

[11] Widigdo Sukarman, “Upaya Membentuk Perbankan Nasional: Peran Bank BNI pada Tahun 1950an”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 55.

[12] Lukman, “Perekonomian Indonesia 1950-1966 (Suatu Tinjauan Aspek Moneter)”. Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2001, hlm. 24.

[13] Thee Kian Wie, op.cit., hlm. 377.

[14] Eddiwan, “Beberapa Catatan Mengenai Perkoperasian di Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono (ed.), Koperasi di Dalam Orde Ekonomi: Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1987), hlm. 128.

[15] Twang Peck Yang, Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. (Yogyakarta: Penerbit Niagara, 2005), hlm. 373.

[16] Thee Kian Wie, “Indonesia’s First Affirmative Policy: The “Benteng” program in The 1950’s”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 8 Nomor 2, 2005, hlm. 36.

[17] Yoshihara Kunio, op.cit., hlm. 55-60.

[18] J. Th. Linblad, “Beyond Benteng: Indonesian Entrepreneurship in Central Java in the 1950s”, Lembaran Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Vol. 7 Nomor 1, 2004, hlm. 87.

[19] op.cit., hlm. 76.

[20] Benny G. Setiono, op.cit., hlm. 676.

Golongan Kemasonan, Sekolah Netral, dan Masyarakat Yogyakarta 1885-1961


Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1762. Kemunculan paham ini ditandai dengan berdirinya loge–loge di kota-kota dagang yang besar di pesisir seperti Semarang Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan di kota kota tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat.[1] Loge yang pertama kali didirikan di tanah Jawa ialah ” La Choisie ( Terpilih ) ” di Batavia atas prakarsa J.C.M Radermacher, akan tetapi loge ini tidak berumur panjang. Kemudian disusul pendirian loge ” La Vertueuse ( Kesucian ) ” dan ” La Fidele Sincerite ( Kesetiaan Ikhlas ) ” di Batavia. Pada tahun 1801 didirikan loge ” La Constante et Fidele ( Selamanya Setia ) ” di Semarang oleh seorang anggota Mason yang bernama Nicolaas Engelhard yang sekaligus diangkat sebagai ” Suhu Agung Nasional dan Pejabat-pejabat Besar Tarekat Republik Batavia”. Dimulai dari Engelhard yang menjalankan funsinya hingga ia digantikan sederetan panjang wakil-wakil Suhu Agung yang melaksanakan kekuasaan Masonik tertinggi. Selain itu juga didirikan loge ” De Vriendschap ( Persaudaraan ) ” di Surabaya, loge ”Mataram” di Yogyakarta pada tahun 1870 dan masih banyak lagi loge-loge yang didirikan.
          Loge ” Mataram ” didirikan pada tahun 1870 karena jumlah orang Eropa yang berada di Yogya sangat mendominasi. Hal ini karena para raja semi-merdeka memberikan hak-hak guna usaha di bidang pertanian yang dipimpin orang Eropa. Nama Mataram diilhami para pendiri loge yang sadar akan kebesaran Jawa. Setahun setelah pendirian loge tersebut tepatnya tahun 1871, Pangeran Ario Soerjodilogo, keturunan dari Sultan-sultan Mataram masuk menjadi anggota loge tersebut.[2] Selain itu ada dua orang Tionghoa yang diterima dalam loge tersebut.
Hubungan - hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa dibanding daerah lain seperti Batavia dimana unsur Eropa sangat dominan. Karena Yogyakarta selain menjadi kedudukan Pura Paku Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi keturunan Sultan Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi kebudayaan Jawa.
Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebijakan kolonial Belanda rupanya beralih dari bentuk pengeksplotasian menuju suatu bentuk keprihatinan atas kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena banyak bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang dilontarkan orang-orang liberal di parlemen. Sehingga banyak suara orang-orang Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.[3]
          Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang masih muda dalam Troonrede kenegaraan mengumumkan suatu penyelidikan terhadap kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah Politik Etis telah disahkan oleh Ratu Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan mengerucutkan prinsip Politik Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi, pendidikan dan transmigrasi penduduk.
          Situasi ini mendapat respon yang di dalam anggota Kemasonan, hal ini terlihat dari dua kali kongres Masonik yang pada akhirnya keputusan terkait tentang sosial dan pendidikan didukung oleh seluruh anggota Kemasonan. Hal ini diwujudkan para golongan Mason dalam bentuk sekolah Frobel atau taman kanak-kanak, rumah panti bagi yatim piatu dan orang buta, perpustakaan rakyat, sekolah kejuruan bagi perempuan dan laki-laki, dana pakaian sekolah, dana-dana studi, asrama-asrama, dan wisma-wisma militer.[4]
Dari hal-hal di atas diketahui bahwa terlepas dari kiprah Golongan Kemasonan yang berusaha dalam melaksanakan tugas-tugasnya, serta meningkatkan eksistensi dirinya di dalam masyarakat. Orang-orang Mason juga aktif bergerak dalam aktivitas sosial maupun pendidikan. Hal ini dikarenakan situasi politik yang dilakukan Belanda guna mengubah paradigma Hindia Belanda yang miskin dan terbelakang lewat 3 jalan keluar yang ditawarkan oleh penjajah Belanda, yakni pengairan, edukasi, dan perpindahan penduduk.


A.  Golongan Mason di Vorstenlanden Yogyakarta
Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri Para Sultan ) ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta pada tahun 1870 atas prakarsa tiga puluh orang anggota Mason. Diantaranya terdapat nama – nama seperti Weijnschenk, Raaff, Soesman, dan Monod de Froindeville. Mereka adalah orang - orang Indo - Eropa yang kaya, yang pada awal abad membeli tanah - tanah yang luas dari Sultan dan berhasil mengembangkannya.[5] Yang menarik adalah para pendiri loji di Yogyakarta tidak ada satupun diantaranya yang berasal dari Bumiputra, hanya satu yang berasal dari Tionghoa. Pemilihan nama Mataram pada loji menunjukkan bahwa para Mason Bebas Yogya sadar akan masa lampau Jawa yang besar.
Perkembangan golongan Mason di Yogyakarta dimulai dengan terobosan masuknya seorang Bumiputra dari golongan bangsawan, yaitu pangeran Ario Soerjodilogo[6] pada 1871 ( setahun setelah pendirian loji Mataram ). Bergabungnya Pangeran Ario Soerjodilogo menambah prestise bagi golongan Kemasonan di mata elite Bumiputra lainnya.
Hubungan - hubungan di Yogyakarta dianggap istimewa dibanding daerah lain seperti Batavia dimana unsur Eropa sangat dominan. Karena Yogyakarta selain menjadi kedudukan Pura Paku Alam, di sini juga menjadi tempat tinggal bagi keturunan Sultan Hamengku Buwono. Lagipula kota ini menjadi pusat bagi kebudayaan Jawa. Usaha – usaha untuk mendapatkan dukungan dari Keraton Yogyakarta tampaknya sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Hal ini terlihat dari kemurahan hati Sultan yang menyewakan sebuah gedung di jalan utama Yogyakarta, Jalan Malioboro, untuk digunakan sebagai loji atau kuil Mason.
Sejak akhir abad 19, beberapa anggota telah berhubungan baik dan menanam paham Mason di kalangan keluarga Paku Alaman. Setelah Paku Alam V ( Pangeran Ario Soejodilogo ) bergabung, banyak keluarga raja yang masuk menjadi anggota, seperti Paku Alam VI, Paku Alam VII, K.P.H Notodirdjo, K.R.T Tirtokusumo, R.M.T Ario Kusumo Yudho dan sebagainya.
Pangeran Notodirdjo adalah seorang bangsawan yang amat disegani.[7] Dirinya merupakan putra ketiga dari Paku Alam V dan pernah menjadi Dewan Perwalian Paku Alaman ( Raad van Beheer ) yang mendapat kepercayaan memerintah Kadipaten Paku Alaman yang saat itu sedang vakum karena mangkatnya Paku Alam VI. K.P.H Notodirdjo bergabung dengan golongan Mason pada tahun 1887 hingga akhir hayatnya pada tahun 1917.[8] Ia dinilai anggota yang aktif mendukung pergerakan rakyat untuk kemajuan dan berani membicarakan keinginannya untuk meningkatkan pengajaran bagi penduduk Bumiputra dalam kongres mason di Batavia pada bulan Desember 1911.
Lingkungan keluarga Paku Alaman mulai menyadari bahwa keterbelakangan yang terjadi di dalam masyarakat kolonial hanya dapat diubah melalui modernisasi masyarakat. Usaha – usaha yang memungkinkan semua itu adalah melalui pendidikan Barat yang membuka jalan bagi dunia baru dan sebagai cara untuk menciptakan elite – elite baru yang dapat melakukan perubahan.
Dalam lingkungan Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak di bidang sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan telah menjadi topik utama yang menjadi Golongan Kemasonan, selain menjadi kebijakan seluruh loji di Hindia Belanda. Sehingga pada tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral dan ”sekolah – sekolah Frobel Yogya”.[9]


B.  Sekolah – Sekolah di Yogyakarta
Sebelum mengenal dan mendapatkan pendidikan modern dari Belanda, masyarakat Yogyakarta telah mengenal adanya pendidikan yang sifatnya religius ( Islam ) dan pendidikan yang sifatnya tradisional. Selepas maghrib, anak laki – laki maupun perempuan berbondong – bondong pergi ke langgar untuk menuntut ilmu agama pada guru – guru mereka hingga menjelang solat isya’ tiba. Mereka diajar secara individual dan menghadap gurunya satu persatu setelah membaca atau menghafal kitab suci. Disini murid – murid mendapat ilmu mengaji dan menghafal kitab suci, selain itu mereka mendapat bekal ilmu akhlak dan sebagainya. Uang untuk iuran tidak ditetapkan jumlahnya, tergantung pada kerelaan orang tuanya, hanya biasanya setiap bulan selalu ada iuran untuk membeli minyak tanah untuk bahan bakar penerangan.[10]
Pendidikan tradisional yang diperoleh anak – anak ialah pelajaran menulis huruf Jawa, menyanyi ( tembang macapat ), pendidikan yang sifatnya tata krama, budi pekerti, dan sejarah. Pendidikan model ini banyak dilakukan di rumah – rumah bangsawan keraton. Usaha ini sebagai bentuk kesadaran untuk memelihara dan memiliki warisan kebudayaan Jawa. Kesadaran ini yang menciptakan generasi – generasi yang bisa membaca dan menulis huruf Jawa.
Memasuki permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kebijakan kolonial Belanda rupanya beralih dari bentuk pengeksplotasian menuju suatu bentuk keprihatinan atas kesejahteraan orang-orang pribumi. Hal ini terjadi karena banyak bermunculan kecaman-kecaman terhadap pemerintah Belanda yang dilontarkan orang-orang liberal di parlemen Belanda. Sehingga banyak suara orang-orang Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas.[11]
Pada tahun 1901, ratu Wilhelmina yang masih muda dalam Troonrede kenegaraan mengumumkan suatu penyelidikan terhadap kesejahteraan di Jawa. Dengan inilah Politik Etis telah disahkan oleh Ratu Belanda. Idenburg sebagai Menteri Urusan Jajahan mengerucutkan prinsip Politik Etis ke dalam 3 hal yaitu irigasi, pendidikan dan transmigrasi penduduk.[12]
Kesultanan Yogyakarta yang masuk dalam wilayah penjajahan Belanda akibat perjanjian Giyanti[13], banyak mendapat pengaruh kebudayaan Eropa, disebabkan karena interaksi kehidupan antara masyarakat Yogyakarta dan  penguasa kolonial. Salah satunya adalah masuknya sistem pendidikan yang sifatnya modern di Yogyakarta. Bentuk dari masuknya sistem pendidikan ini ditandai oleh berdirinya sekolah – sekolah di Kota Yogyakarta.
Sekolah modern Barat yang pertama dibuka di Yogyakarta didirikan pertama kali oleh anggota tentara Belanda pada tahun 1832 dengan murid yang berjumlah sekitar 70 orang. Tetapi penyelenggaraannya kurang berhasil karena kesulitan bahasa pengantar Belanda yang digunakan.[14] Guru yang mengajar sekolah pertama ini bernama Van Theil, seorang pegawai tentara Belanda. Namun, usaha pengajaran mulai mendapat perhatian dari penguasa kolonial saat Mullemeister menjabat sebagai residen pada tahun 1832 – 1891.
Sampai tahun 1879, hanya terdapat satu sekolah Gubermen dan satu sekolah swasta di daerah Paku Alaman.[15] Pada tahun 1890, di keraton Yogyakarta didirikan sekolah Sri Manganti. Pada bulan Agustus, yang mendaftar sebagai murid sebanyak 100 orang. Gedung sekolah ini meminjam sebagian ruang Bangsal Trajumas, diantara regol Sri Manganti sendiri dan regol Donopratopo.[16] Sekolah ini biasa disebut Sekolah Kelas Satu ( Eerste Klasse School met de Basa Kedaton ) dan awalnya diperuntukkan bagi anak – anak bangsawan dan abdi dalem yang berpangkat tinggi namun selanjutnya terbuka bagi anak para pegawai menengah dan rendah. Bagi anak para pegawai menengah dan rendah disediakan Sekolah Kelas Dua ( Tweede Klasse School ) atau sekolah Pagelaran. Selain dua sekolah tersebut, juga terdapat sekolah – sekolah partikelir atau sekolah swasta di daerah Kasultanan maupun Paku Alaman.
Pada abad XX, jumlah sekolah mulai meningkat drastis. Pada tahun 1909, didirikan Eerste Inlandsche School di Kintelan dan di berbagai tempat lainnya. Sekitar 6 tahun sesudahnya atau tahun 1915, pemerintah memperbanyak berdirinya sekolah – sekolah rendah yang bernama HIS ( Hollandsch Inlandsche School ) dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Hal ini dapat terlaksana karena dorongan dari perkumpulan Budi Utomo. Gedung pertama HIS bertempat di Jetis. Pada tahun yang sama, sekolah Sri Manganti berubah menjadi sekolah HIS dengan nama Keputren School.
Selain sekolah – sekolah yang didirikan pemerintah, juga terdapat sekolah – sekolah swasta atau partikelir seperti sekolah Kristen dan Katolik. Sekolah Kristen di Yogyakarta terdapat di banyak tempat seperti di Klitren, Gondolayu, Gemblakan, Bintaran, dan Tungkak. Lokasi – lokasi sekolah tersebut sangat penting untuk mengukur mobilitas dan dinamika pendidikan di dalam maupun di luar kota Yogyakarta. Meski agama Kristen memiliki konsep humanitas yang sangat luas, tetapi dalam masa kolonialisme pengurus – pengurusnya tetap mempertimbangkan adanya diferensi sosial.
Masuknya missi Katolik di Yogyakarta berawal dari missi yang dilakukan di Jawa pada tahun 1890. Pada tahun 1892 muncul sekolah – sekolah Katolik di daerah Mungkid dan Salam. Tahun 1923, sekolah missi telah memiliki sekolah dengan gedung bertingkat dua dengan jumlah 18 ruang kelas. 14 kelas dipakai untuk HIS dan sisanya untuk MULO.
Dari perkembangan sekolah – sekolah yang didirikan oleh pemerintah maupun orang Kristen dan Katolik, ulama – ulama Islam terutama K.H Ahmad Dahlan mulai resah dengan keadaan yang terjadi. Maka pada awal abad 20 inilah, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Yogyakarta mendirikan sekolah – sekolah yang berbasis agama Islam. Sekolah ini muncul sebagai reaksi atas sistem pengajaran Barat dan sebagai reaksi atas majunya sekolah – sekolah zending dan missi.[17] Muhammadiyah memiliki sebuah Kweekschool dan HIS di Notoprajan, sekolah kelas dua di Bausasran, Kauman, Karangkajen. Selain itu ada juga sekolah – sekolah yang sama di Paku Alaman, Bintaran Lor ( Adhidharmo ), Ngupasan dan Suronatan.
Sepuluh tahun setelah Muhammadiyah, lahirlah organisasi pendidikan Taman Siswa di Yogyakarta. Taman Siswa muncul sebagai reaksi dari model pengajaran Barat. Dasar penyelenggaraan pendidikan Taman Siswa didasarkan pada kebudayaan sendiri dan kebudayaan asing yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Pada tahun 1924, Taman Siswa baru tercatat dalam data statistik pengjaran di Yogyakarta dengan jumlah murid 38 orang dan 17 guru.
Meskipun banyak sekolah yang didirikan, hanya sekolah bentukan pemerintah saja yang banyak diminati oleh masyarakat di Yogyakarta. Hal ini karena kurikulum di sekolah – sekolah pemerintah dianggap lebih sesuai dalam perkembangan zaman. Meskipun jumlah sekolah yang didirikan pemerintah berjumlah 278 buah, tetap saja jumlah tersebut tidak mencukupi untuk menampung jumlah murid yang tidak mendapat tempat. Maka hal inilah yang dimanfaatkan anggota Mason untuk membentuk lembaga yang bernama Neutrale Onderwijs Stichting.[18] Lembaga inilah yang nantinya akan mendirikan sekolah – sekolah netral ( tidak berpijak pada agama ). Sekolah ini banyak mendapat perhatian dari masyarakat Yogyakarta karena Bahasa Belanda dijadikan salah satu mata pelajaran dan bahasa pengantar di sekolah ini.


C.  Sekolah Netral di Yogyakarta sampai Tahun 1946
Neutrale Onderwijs Stichting adalah lembaga yang berkecimpung di bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh anggota Mason dan juga salah satu kerabat Kadipaten Paku Alaman, yaitu Pangeran Notodirdjo, ia menginginkan terselenggaranya pendidikan yang netral. Selain mendirikan sekolah taman kanak – kanak atau sekolah Frobel, para anggota Mason juga mendirikan Neutrale Hollandsch – Indlandsch Scholen atau biasa disebut sekolah netral, sebagai bagian dalam mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing masyarakat menuju kemajuan sosial.[19]
Kata “ Netral ” dalam sekolah netral disini dimaksudkan sebagai pendidikan yang netral terhadap agama, bahwa sekolah ini tidak memberikan pelajaran agama tertentu kepada murid – muridnya[20], dan dalam penerimaannya diperbolehkan dari agama apapun. Tujuan pengajaran hanya untuk memberikan ilmu pengetahuan dan tidak bermaksud apapun.
Pendirian sekolah netral pada tahun 1912 oleh para golongan Mason ini didukung oleh Sultan Yogyakarta yang menyediakan dana untuk pembangunan sekolah untuk laki - laki dan dana sekolah untuk perempuan.[21] Untuk menunjang kegiatan yang dilakukan sekolah – sekolah netral ini didirikanlah Studiefonds Djokdja. Menurut laporan kerja golongan Mason 1916 – 1917, orang – orang yang menjadi pengurus sekolah netral ialah Dr. D.I de Vries Robles ( Ketua ), R.R. Nitidipuro ( Wakil Ketua ), A.J.P Doom ( Bendahara ), A. van Ophuysen ( Sekretaris I ), R.M.P. Brotoatmodjo ( Sekretaris II ), dan para komisaris yang terdiri dari A.B. David, Mr. F.W. Pynacker Hordijk, W.F.J. Schilham, P.A. Soerjodiningrat, R.M.P. Gondoatmodjo dan R.T. Wiryo Dirdjo.[22]
Neutrale Onderwijs Stichting di Kota Yogyakarta telah berhasil membangun sekolah – sekolah baik untuk anak – anak Belanda maupun Bumiputra. Pada tahun 1927, Neutrale Onderwijs Stichting mengajukan permohonan Recht van Opstal kepada pemerintah Hindia Belanda untuk memperluas bangunan Neutrale Europesche Lagere School dan mendirikan Neutrale MULO. Murid Neutrale ELS terdiri atas bangsa dari Eropa dan Bumiputra, dengan jumlah 169 murid Eropa dan 8 murid Bumiputra.[23]
Pada tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch Javaansche School di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian sekolah ini dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono VII. Berdirinya sekolah ini mendapat bantuan dari Sultan sebanyak f.14.000 pada tahun 1913 dan f.15.000 pada tahun 1915 yang digunakan untuk membeli bahan bangunan. Selain itu, Sultan juga menjadi pelindung Neutrale Onderwijs Stichting.
Sekolah Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks terdapat 3 sekolah yang semuanya milik Neutrale Onderwijs Stichting. Ketiga sekolah itu adalah Neutrale Hollandsch Javaansche Jongensschool ( untuk murid laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche Meisjessschool ( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool ( untuk murid campuran ). Selain itu, lembaga milik anggota Mason tersebut masih memiliki asetnya, seperti Sekolah Netral H.C.S. der Majoor Yap-Stichting di kampung Tugu, kemudian Sekolah Netral Kepoetran di Alun – alun Utara, Sekolah Netral Budi Utomo di Yudonegaran dan Sekolah Netral Taman Siswa di Lempuyangan.
Sekolah Netral pada tahun 1942 ditutup karena adanya larangan dari pemerintah Jepang bagi sekolah – sekolah swasta. Bahasa Belanda yang biasa menjadi bahasa pengantar dilarang untuk digunakan, dan sebagai gantinya Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar di semua sekolah. Sedangkan Bahasa Jepang menjadi mata pelajaran wajib diberikan. semua buku – buku yang berbahasa Belanda diganti dengan buku – buku terjemahan dari kantor pengajaran ( Bunkyo Kyoku ).[24]


D. Sekolah Netral di Yogyakarta (1946 – 1960)
Selama masa Revolusi, Sekolah Netral yang terdapat di Jalan Malioboro ditutup, dan gedung sekolahnya sempat dijadikan rumah tahanan bagi tentara Jepang yang masih ada di Kota Yogyakarta. Tentara Jepang yang tertangkap kemudian dimsukkan ke dalam gedung Sekolah Netral dan di sekelilingnya dijaga ketat oleh tentara Republik Indonesia.
Setelah tidak aktif lagi selama empat tahun, pada tahun 1946 Sekolah Netral dibuka kembali. Pada waktu itu sekolah Neutrale Hollandsch Javaansche berubah nama menjadi Sekolah Rakyat Netral dan tidak terdapat lagi tingkatan – tingkatan yang sifatnya diskriminatif. hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan Jepang, tentang penghilangan tingkatan pada sekolah – sekolah.[25] Kegiatan belajar mengajar kembali dilaksanakan pada tahun itu, akan tetapi keadaan damai hanya bertahan hingga akhir tahun 1948 karena Belanda melakukan Agresi Militer II.[26]
Sekolah Rakyat Netral masih bernaung pada Yayasan Sekolah Netral yang telah berdiri sejak tahun 1912. Saat dibuka kembali pada tahun 1946, Sekolah Rakyat Netral masih memiliki 3 sekolah ditambah sebuah taman kanak – kanak yang berada satu tempat dengan Sekolah Rakyat Netral putri.
Mengenai Yayasan Sekolah Netral, pada tahun 1959 berubah nama menjadi Yayasan Perguruan Sekolah “ Netral ”. Dalam perkembangannya, Yayasan ini tidak lagi menjadi milik Golongan Kemasonan tetapi telah menjadi milik salah satu anggota Paku Alaman yaitu R.M. Rio Notonegoro menjelang kapitulasi 8 Maret 1942.[27] Alasan mengenai pergantian nama, karena hal ini sebagai usaha yayasan untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Kompleks Sekolah Netral putra selain digunakan untuk kegiatan Sekolah Rakyat Netral juga digunakan oleh SMP Netral pada sore harinya. Sedangkan SR Netral Putri pada sore hari digunakan oleh Sekolah Guru Pendidikan Agama ( SGPA ).


E.  Kepindahan Sekolah Netral dari Jalan Malioboro
Sejak awal pendiriannya, Sekolah Netral di Yogyakarta berada di Jalan Malioboro, dan saat dibuka kembali pada tahun 1948 lokasinya masih berada di jalan ini. Kepindahan Sekolah Netral dari Jalan Malioboro ke Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan tidak terlepas dari kasus Yayasan Kredit Tani Indonesia (YKTI) yang melibatkan partai – partai di Yogyakarta.[28] Kasus ini mengakibatkan hutang yang sangat besar bagi Sri Sultan Hamenku Buwono IX. Sebagai pertanggungjawabannya, Sultan terpaksa menjual tanah milik keraton di jalan Malioboro untuk melunasi hutang tersebut. sedangkan tanah itu disewa oleh Sekolah Rakyat Netral.
Karena tanah yang ada di Malioboro telah dijual, Yayasan Sekolah Netral tidak lagi mempunyai hak untuk menempati tanah itu. Sebagai gantinya, Sultan menawarkan tanah keraton yang masih kosong di Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan. Tanah milik keraton yang ada di Jalan Dagen, belum ada bangunannya, perlu membangun gedung dahulu. Sedangkan di Jalan Sosrowijayan sudah ada bangunan namun masih perlu direnovasi. Sekolah Netral masih mendapat izin sampai pembangunan selesai.
Setelah bangunan di Jalan Dagen selesai pada tahun 1959, sekolah netral putra dan sekolah netral campuran ( putra dan putri ) pindah ke Jalan Dagen. Sedangkan sekolah netral putri dan sekolah Frobel ( taman kanak – kanak ) masih di Jalan Malioboro, karena bangunan di Sosrowijayan belum selesai direnovasi. Setelah gedung yang ada di Jalan Sosrowijayan selesai direnovasi, sekolah netral putri dan sekolah Frobel ( taman kanak – kanak ) pindah ke Sosrowijayan. Sedangkan lahan bekas sekolah netral di Malioboro kemudian dibangun sebuah hotel yang megah dan masih berdiri sampai saat ini, yaitu Hotel Mutiara.


Istilah Kemasonan Bebas digunakan untuk mengindonesiakan kata Freemasonry dalam bahasa Inggris dan kata Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda. Kemasonan memiliki arti secara harfiah, yaitu perkumpulan para tukang bangunan atau gilda di Inggris. Gerakan Mason kemudian diperkenalkan oleh bangsa Barat sebagai aliran pembebasan pikiran yang menerima sesama manusia dan ditempatkan pada posisi yang sederajat tanpa ada bentuk diskriminasi dan menjadi pandangan hidup yang timbul dari dorongan batin yang mengungkapkan tentang dirinya dalam upaya mengangkat umat manusia ke tingkat susila dan moral yang lebih tinggi lagi.
Paham Kemasonan mulai masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1762. Kemunculan Paham ini ditandai dengan berdirinya loge – loge di kota-kota dagang yang besar di pesisir seperti Semarang Batavia, Surabaya, dan Padang. Hal ini dikarenakan di kota kota tersebut, komunitas-komunitas Eropa memilki posisi yang kuat. Pada pertengahan abad 19, paham ini berkembang pesat dan akhirnya mulai merambah ke jantung – jantung pedalaman pulau Jawa yang dikuasai raja – raja lokal pecahan dari kerajaan Mataram Raya.
Paham Mason mulai masuk ke wilayah Vorstenland ( Negeri Para Sultan ) ditandai dengan pendirian Loji Mataram di Yogyakarta pada tahun 1870. Di Yogyakarta, golongan Mason banyak bergerak di bidang sosial, terutama dalam hal pendidikan. Pendidikan telah menjadi topik utama yang menjadi Golongan Kemasonan, selain menjadi kebijakan seluruh loji di Hindia Belanda. Sehingga pada tahun 1885 didirikanlah sekolah – sekolah netral dan ”sekolah – sekolah Frobel Yogya”.
Neutrale Onderwijs Stichting adalah lembaga yang berkecimpung di bidang pendidikan. Lembaga ini didirikan oleh anggota Mason. Selain mendirikan sekolah taman kanak – kanak atau sekolah Frobel, para anggota Mason juga mendirikan Neutrale Hollandsch – Indlandsch Scholen atau biasa disebut sekolah netral, sebagai bagian dalam mewujudkan tujuan Mason, yakni membimbing masyarakat menuju kemajuan sosial.
Pada tahun 1912, didirikan Neutrale Hollandsch Javaansche School di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Malioboro. Pendirian sekolah ini dilakukan dengan cara menyewa tanah milik Sultan Hamengku Buwono VII. Sekolah Netral di Jalan Malioboro ini dalam satu kompleks terdapat 3 sekolah yang semuanya milik Neutrale Onderwijs Stichting. Ketiga sekolah itu adalah Neutrale Hollandsch Javaansche Jongensschool ( untuk murid laki-laki ), Neutrale Hollandsch Javaansche Meisjessschool ( untuk murid perempuan ), Neutrale Hollandsch Javaansche Gemeenschool ( untuk murid campuran ).
Setelah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, semua sekolah buatan Belanda ditutup. Hal ini terus berlangsung hingga masa revolusi. baru pada tahun 1950-an sekolah ini dibuka kembali dan ganti nama sekolah menjadi Sekolah Rakyat Netral. Kasus Yayasan Kredit Tani Indonesia ( YKTI ) yang membuat Sri Sultan berhutang banyak, membuat beliau menjual tanahnya di Jalan Malioboro dan tanah itulah yang ditemapati Sekolah Netral. Sebagai gantinya, Sultan menawarkan tanahnya yang ada di Jalan Dagen dan Jalan Sosrowijayan. akhirnya sekolah ini pindah ke tempat dua jalan tadi sampai sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

        Sumber Buku:

          Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial 1880-1930, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

         Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas – batas Pembaratan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

            Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangannya,  Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009.

           Gilbert J. Garraghan. A Guide to Historical Method, New York, Fordham University Press, 1957.

          Harun Yahya, Ksatria – ksatria Templar: Cikal Bakal Gerakan Freemasonry, Surabaya: Risalah Gusti, 2005.

               Kota Jogjakarta 200 tahun, 7 Oktober 1756 – Oktober 1956. Yogyakarta: Panitia Peringatan, 1956.

               Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

                                  , Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Bentang Pustaka, 2005.

               Lynn Picknett dan Clive Prince, The Templar Revelation: Para Pelindung Identitas Sejati Kristus, Jakarta: Serambi, 2006.

              M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, Jakarta: Serambi, 2008.

            Rizki Ridyasmara, Knight Templar, Knight of Christ: Konspirasi Berbahaya Biawaran Sion Menjelang Armageddon, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

             Sri Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed. ), Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.

             Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

        Sumber skripsi:

        Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.

          Wieen Febrianto, Golongan Kemasonan di Vorstenlanden 1870-1942, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2006.






[1] Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), : 24.
[2] Pada tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi Paku Alam V. Kedudukannya sebagai kepala dari keluarga raja yang memerintah salah satu Vorstenland dianggap penting bagi loge “Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.

[3] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 - 2008, ( Jakarta: Serambi, 2008 ), : 327.
[4] Th. Stevens, op.cit., : 293-298.

[5] Th. Stevens, loc.cit., :150-151.           

[6] Pada tahun 1878, Pangeran Ario Soerjodilogo menjadi Paku Alam V. Kedudukannya sebagai kepala dari keluarga raja yang memerintah salah satu Vorstenland dianggap penting bagi loge “Mataram” khusunya dan Kemasonan pada umumnya.

[7] Abdurrachman Surjomihardjo, loc.cit., : 49.

[8] Wieen Febrianto, op.cit.
[9] Th. Stevens, loc.cit., : 151.
[10] Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.
[11] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, ( Jakarta: Serambi, 2008 ), : 327.
[12]   Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), : 191-192.

[13] Perang Saudara di Kerajaan Mataram atau yang terkenal dengan Perang Suksesi Jawa Ketiga ( 1746 – 1755 ) berakhir dengan perjanjian Giyanti pada tanggal 134 Februari 1755. Perjanjian membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian itu, Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I, raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sunan Paku Buwono III sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
[14] Isti Rahayu, loc.cit.

[15] Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 ), : 67.
[16]  Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, & Teladan Perjuangannya,  ( Yogyakarta: Paradigma Indonesia, 2009 ), : 461.
[17] Abdurrachman Surjomihardjo, op.cit., : 86.
[18]  Th. Stevens, loc.cit., : 302.
[19] Wieen Febrianto, Golongan Kemasonan di Vorstenlanden 1870-1942, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2006.

[20] Isti Rahayu, Perkembangan Sekolah Netral di Yogyakarta 1916-1960, Skripsi S-1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2004.

[21]   Th. Stevens, Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004 ), : 259.

[22] Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, ( Jakarta: Komunitas Bambu, 2008 ), : 79.

[23] Isti Rahayu, op.cit.
[24] Sri Sutjiatiningsih, Sutrisno Kutoyo ( ed. ), Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981 ), : 114.

[25] Pada zaman kolonial Belanda terdapat tingkatan – tingkatan pendidikan sekolah dasar dimana antara satu sekolah dengan sekolah lain terdapat perbedaan. Sekolah untuk anak – anak bangsawan berbeda dengan sekolah untuk anak – anak dari kalangan rakyat biasa.

[26] Isti Rahayu, loc.cit.

[27] Wieen Febrianto, lo.cit.

[28] Isti Rahayu, loc.cit.